Jumat, 07 Januari 2011

SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP, SISTEMATIKA KUHP, DAN USAHA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Hand out Mata Kuliah Hukum Pidana
SEJARAH PEMBENTUKAN KUHP, SISTEMATIKA KUHP,
DAN USAHA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
oleh: Dosen Pengampu: Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum

Sejarah Pembentukan KUHP
Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang  diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun
1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi
Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Di samping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturanperaturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda. Oleh karena perjuangan bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.

Sistematika KUHP
Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103).
b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488).
c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).
Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain (lihat Pasal 103 KUHP).

Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini
bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.

Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:

a. alasan yang bersifat politik
adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang
telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundangundangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

b. alasan yang bersifat sosiologis
suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentangn apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.

c. alasan yang bersifat praktis
teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat. Selain pendapat Sudarto di atas, Muladi menambahkan alasan perlunya
pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan adaptif. KUHP nasioanl dimasa mendatang harus dapat menyesuaian diri dengan perkembanganperkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab.
Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar mengganti KUHP. Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro Semarang yang menyebutkan bahwa pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Di samping itu, tidak ada artinya hukum pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya. Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform). Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure reform). Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana. Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10 UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang KejahatanPenerbangan).11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f). Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidananasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990,
Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Terakhir kali Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundangundangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini telah masuk di DPR RI untuk dibahas dan disahkan.
Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) “hanya” berjumlah 569 pasal.

Perbandingan Sistematika KUHP dan Rancangan KUHP 1999-2000 K U H P Rancangan KUHP 1999-2000 Buku Kesatu Aturan Umum Buku Kesatu Ketentuan Umum Bab Isi/Materi Bab Isi/Materi I Batas-batas Berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan (Pasal 1-9) 

I Berlakunya Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1-14) II Pidana (Pasal 10-43) 
II Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 15-49) III Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan
Pidana (Pasal 44-52a) 
III Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan (Pasal 50-136)
IV Percobaan (Pasal 53-54) IV Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana (Pasal 137-148) 
V Penyertaan dalam Tindak Pidana (Pasal 55-62) V Batasan Pengertian (Pasal 149-191) VI Perbarengan Tindak Pidana (Pasal 63-71) VI Ketentuan Penutup (Pasal 192)
VII Mengajukan dan Mnarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatankejahatan yang Hanya Dituntut atas
Pengaduan (Pasal 72-75) 
VIII Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana (Pasal 76-85)
IX Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang (Pasal 86-101) Aturan Penutup (Pasal 103) Buku Kedua Kejahatan Buku Kedua Tindak Pidana I Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Pasal 104-129) 
I Tindak Pidana terhadap Proses Kehidupan Ketatanegaraan (Pasal 193-223)
II Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 130-139)
II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 224-227)
III Kejahatan-kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat serta Wakilnya (Pasal 139a-145)
III Tindak terhadap Negara Sahabat, Kepala Negara Sahabat, dan Perwakilan Negara Sahabat (Pasal 228-237)
IV Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan (Pasal 146-153)
IV Tindak Pidana terhadap Kewajiban dan Hak Kenegaraan (Pasal 238- 245)
V Kejahatan terhadap Ketertiban Umum (Pasal 154-181)
V Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum (Pasal 246-287)
VI Perkelahian Tanding (Pasal 182-186) VI Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan (Pasal
288-289) 
VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang (Pasal 187-206)
VII Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama (Pasal 290-297)
VIII Kejahatan terhadap Penguasa Umum (Pasal 207-241)
VIII Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Barang, dan Lingkungan Hidup
(Pasal 298-337)
IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (Pasal 242)
IX Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara (Pasal 338-374)
X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas (Pasal 244-252)
X Tindak Pidana Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (Pasal 375)
XI Pemalsuan Materai dan Merk (Pasal XI Tindak Pidana Pemalsuan Mata 253-262) Uang dan Uang Kertas (Pasal 376-383)
XII Pemalsuan Surat (Pasal 263-276) XII Tindak Pidana Pemalsuan Segel, Cap Negara, dan Merek (Pasal 384-394)
XIII Kejahatan terhadap Asal-usul dan Perkawinan (Pasal 277-280)
XIII Tindak Pidana Pemalsuan Surat (Pasal 395-405)
XIV Kejahatan terhadap Kesusilaan (Pasal 281-303 bis)
XIV Tindak Pidana terhadap Asasl-usul dan Perkawinan (Pasal 406-410)
XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong (Pasal 304-309)
XV Tindak Pidana Kesusilaan (Pasal 411-441)
XVI Penghinaan (Pasal 310-321) XVI Tindak Pidana Menelantarkan Orang (Pasal 442-446)
XVII Membuka Rahasia (Pasal 322-323) XVII Tindak Pidana Penghinaan (Pasal 447-456)
XVIII Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang (Pasal 324-337)
XVIII Tindak Pidana Pembocoran Rahasia (Pasal 457-459)
XIX Kejahatan terhadap Nyawa (Pasal 338-350)
XIX Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan Orang (Pasal 460-474)
XX Penganiayaan (Pasal 351-358) XX Tindak Pidana terhadap Nyawa (Pasal 475-483)
XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Pasal 359-361)
XXI Tindak Pidana Penganiayaan (Pasal 484-488)
XXII Pencurian (Pasal 362-367) XXII Tindak Pidana yang Mengakibatkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Pasal 489-490)
XXIII Pemerasan dan Pengancaman (Pasal 368-371)
XXIII Tindak Pidana Pencurian (Pasal 491-497)
XXIV Penggelapan (Pasal 372-377) XXIV Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman (Pasal 498-501)
XXV Perbuatan Curang (Pasal 378-395) XXV Tindak Pidana Penggelapan (Pasal 502-507)
XXVI Perbuatan Merugikan Pemihutang atau Orang yang Mempunyai Hak (Pasal 396-405)
XXVI Tindak Pidana Perbuatan Curang (Pasal 508-533)
XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang (Pasal 406-412)
XXVII Tindak Pidana Merugikan Kreditor atau Orang yang Berhak (Pasal 534-543)
XXVIII Kejahatan Jabatan (Pasal 413-437) XXVIII Tindak Pidana Penghancuran atau Perusakan Barang (Pasal 544-550) 
XXIX Kejahatan Pelayaran (Pasal 438-479) XXIX Tindak Pidana Jabatan (Pasal 551-580)
XXIXA Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Pasal 479a-479r)
XXX Tindak Pidana Pelayaran (Pasal 581-619)
XXX Penadahan Penerbitan dan Percetakan (Pasal 480-485)
XXXI Tindak Pidana Penerbangan dan Tindak Pidana terhadap Sarana serta Prasarana Penerbangan (Pasal 620-637)
XXXI Aturan tentang Pengulangan Kejahatan yang Bersangkutan dengan Berbagai-bagai Bab (Pasal 486-488)
XXXII Tindak Pidana Pemudahan (Pasal 638-645) Buku Ketiga Pelanggaran 
XXXIII Ketentuan Penutup (Pasal 646-647) 
I Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Pasal 489-502)
II Pelanggaran Ketertiban Umum (Pasal 503-520)
III Pelanggaran terhadap Penguasa Umum (Pasal 521-528)
IV Pelanggaran Mengenai Asal-usul dan Perkawinan (Pasal 529-530)
V Pelanggaran terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Pasal 531)
VI Pelanggaran Kesusilaan (Pasal 532-547)
VII Pelanggaran mengenai Tanah, Tanaman, dan Pekarangan (Pasal548-551)
VIII Pelanggaran Jabatan (Pasal 552-559)
IX Pelanggaran Pelayaran (Pasal 560-569)

Handout Hukum Pidana Dosen Pengampu: Ahmad Bahiej, S.H. M.Hum. Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Handout Hukum Pidana
Dosen Pengampu: Ahmad Bahiej, S.H. M.Hum.
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

PENDAHULUAN
(Pengantar Perkuliahan Hukum Pidana)
Kontrak belajar dan Outline Mata Kuliah
a. Mata kuliah Hukum Pidana dan mata kuliah prasyaratnya.
b. Time line
c. Bobot prosentase penilaian
d. Tugas
e. Referensi
f. Waktu perkuliahan

Pengertian hukum pidana
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan (yang
dilarang) dengan disertai ancaman/sanksi berupa pidana tertentu bagi yang
melanggar larangan tersebut.
b. menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan
c. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang telah disangka melanggar larangan
tersebut. (Mulyatno)
Dalam arti bekerjanya, hukum pidana dibedakan:
a. hukum pidana objektif (ius poenale) yang meliputi hukum pidana materiel
(peraturan tentang syarat bilamanakah, siapakah, dan bagaimanakah
sesuatu itu dapat dipidana), serta hukum pidana formil (hukum acara
pidana: hukum yang mengatur tentang cara hukum pidana materiel dapat
dilaksanakan).

Dalam pembelajaran hukum, kita dihadapkan pada anggapan-anggapan yang mengikat perbuatan sesorang dalam masyarakat. Anggapan-anggapan itu memberi petunjuk sesorang bagaimana ia harus berbuat atau tidak berbuat. Anggapan-anggapan itu disebut norma atau kaidah. Norma mengandung apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan. Di belakang norma ada nilai (value) yang diartikan sebagai ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat untuk menetapkan apa yang benar atau yang baik. Tiap masyakarat menghendaki agar norma itu dipatuhi (das sollen), walaupun dalam kenyataannya tidak semua orang mematuhinya (das sein). Agar norma itu dipatuhi, maka masyakarat mengenakan sanksi, baik sanksi positif maupun sanksinegatif.

Salah satu bentuk norma adalah norma hukum. Norma hukum mempunyai ciri dapat dipaksakan berlakunya. Norma hukum itu kemudian dirumuskan dalam bentuk peraturan hukum, yang meliputi hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap pasal dalam peraturan hukum itu didasari adanya suatu norma dan nilai yang ada di masyarakat. Bagaimanakah norma dan nilai yang mendasari Pasal 338 KUHP?

b. hukum pidana subjektif (ius puniendi) yaitu hukum yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan, dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. (Bambang Poernomo) Dalam redaksi yang lain Sudarto menjelaskan bahwa hukum pidana objektif (ius poenale) adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yag berupa pidana. Sedangkan hukum pidana subjektif (ius peniendi) adalah hak dari negara atau alat-alat perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu. Kedudukan Hukum Pidana dalam Tata Hukum Indonesia Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan aturan hukum di Indonesia. Di samping hukum pidana, terdapat aturan-aturan hukum yang lain, seperti hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum tata negara, dan lain-lain. Hukum pidana termasuk dalam golongan hukum publik, karena mengatur tentang hubungan antara negara dengan perseorangan.

Fungsi Hukum Pidana
Menurut Sudarto, fungsi umum hukum pidana adalah untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sedangkan fungsi khusus hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak merusaknya. Dengan demikian hukum pidana itu menanggulangi perbuatan jahat yang hendak merusak kepentingan hukum seseorang, masyarakat, atau negara. Pidana berarti nestapa atau penderitaan. Jadi, hukum pidana merupakan hukum yang memberikan sanksi berupa penderitaan atau kenestapaan bagi orang yang melanggarnya. Karena sifat sanksinya yang memberikan penderitaan inilah hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium atau obat yang terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya hukum lain tidak mampu menanggulangi perbuatan yang merugikan.
Dalam pengenaan sanksi hukum pidana terdapat hal yang tragis sehingga hukum pidana dikatakan sebagai “pedang bermata dua”. Maksudnya, satu sisi hukum pidana melindungi kepentingan hukum (korban) namun dalam sisi yang lain, pelaksanaannya justru melakukan penderitaan terhadap kepentingan hukum (pelaku).

Tujuan Hukum Pidana
Sebagaimana dinyatakan oleh Tirtaamidjaja, bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat. Tujuan ini merupakan tujuan umum, yang jika dijabarkan lebih lanjut terdapat aliran yang berbeda.

a. Aliran klasik berpendapat bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Aliran ini muncul pertama kali saat hukum pidana modern dikenal dan dipengaruhi oleh
sejarah Revolusi Perancis. Kasus Jean Calas te Toulouse yang dipidana mati karena dituduh membunuh anaknya sendiri, Mauriac Antoine Calas, menjadi dasar bagi Beccaria, JJ Rousseau, dan Montesquieu berpendapat agar kekuasaan raja dibatasi oleh hukum (pidana) tertulis.

b. Aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Aliran modern ini mendapat pengaruh dari ilmukriminologi.

Sumber-sumber Hukum Pidana Indonesia
Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang aslinya berbahasa Belanda (Wetboek van Strafrecht). Dapat dikatakan bahwa KUHP adalah hukum pidana umum karena berlaku bagi setiap orang.
Di samping hukum pidana umum, terdapat hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang mengatur golongan-golongan tertentu atau terkait dengan jenis-jenis tindak pidana tertentu. Sumber hukum pidana khusus di Indonesia diantaranya KUHP Militer, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur pidana di luar KUHP seperti UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15/2002 jo. UU No. 25/2003), UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), UU Tindak Pidana Psikotropika (UU No. 5/1997), UU Tindak Pidana Narkotika (UU No. 22/1997), dan lain-lain.

Gambaran hukum pidana Indonesia:
Buku I KUHP
Aturan Umum
Pasal 1-103, Bab 1-9
Buku II KUHP
Kejahatan
Pasal 104 - 488
Buku III KUHP
Pelanggaran
Pasal 489 - 569
Hukum Pidana Khusus
(Aturan Pidana dalam UU di luar
KUHP)
UU Narkotika, UU Psikotropika,
UU Terorisme, UU HAM, UU
KDRT, UU Pencucian Uang, dll
berlaku bagi berlaku bagi berlaku bagi
(kecuali ditentukan lain)

PERUBAHAN PERTAMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANGMAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

www.Legalitas.org
PERUBAHAN PERTAMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DENGAN RAHMAT TUHAN YANGMAHA ESA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

Setelah mempelajari, melaah, dan mempertimbangkan dengan saksama dan sungguhsungguh
hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara,
serta dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia mengubah Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal
15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga selengkapnya menjadi berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 5
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.

Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya,
memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang
dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden):
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
Bangsa”.
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah di hadapan Pimpinan
Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah
Agung.

Pasal 13
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14
(1) Presiden memberi grasi dan rahabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
PerwakilanRakyat.

Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang-undang.
Pasal 17
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dan pemerintahan.

Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang.

Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undangundang.
Naskah perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undangundang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut diputuskan
dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke 12
tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 1999.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
KETUA
ttd.


Prof. Dr. H.M. Amien Rais,M.A.